* (#rßç6ôã$#ur ©!$# wur (#qä.Îô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur Ï 4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷r& 3 ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä `tB tb%2 Zw$tFøèC #·qãsù ÇÌÏÈ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat,
ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)
Mukadimah
Syariat Islam sungguh indah. Ia
mengajarkan adab nan tinggi dan akhlak yang mulia. Menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda, dan selalu berusaha menjaga keutuhan keluarga.
Membersihkan berbagai noda di dada yang akan merusak hubungan sesama manusia
yang satu keluarga. Menyantuni yang tidak punya dan tidak iri dengki kepada
yang kaya.
Silaturahim adalah resep mustajab
untuk ini semua. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
bahwa silaturahim termasuk inti dakwah Islam, sebagaimana diriwayatkan Abu
Umamah, dia berkata: Amr bin ‘Abasah As-Sulami berkata:
Aku berkata: “Dengan apa Allah
mengutusmu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah
mengutusku dengan silaturahim, menghancurkan berhala dan agar Allah
ditauhidkan, tidak disekutukan dengan-Nya sesuatupun.” (HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin, Bab Islam ‘Amr
bin ‘Abasah, no. 1927)
An-Nawawi t menjelaskan
hadits ini dengan menyatakan: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat
jelas untuk memotivasi silaturahim. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengiringkannya dengan tauhid dan tidak menyebutkan bagian-bagian Islam yang
lain kepadanya (‘Amr). Beliau hanya menyebutkan yang terpenting, dan beliau
awali dengan silaturahim.” (Syarh Shahih Muslim, 5/354-355, cet. Darul
Mu`ayyad)
Makna Silaturahim
Silaturahim berasal dari bahasa Arab,
yaitu dari kata صِلَةٌ dan الرَّحِمُ . Kata صِلَةٌ adalah bentuk
mashdar (gerund) dari kata وَصَلَ-يَصِلُ, yang berarti sampai, menyambung.
Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: “وَصَلَ – الْاِتِّصَالُ yaitu menyatunya beberapa hal, sebagian dengan yang
lain.” (Al-Mufradat fi Gharibil Qur`an, hal. 525)
Adapun kata الرَّحِمُ, Ibnu Manzhur berkata: “الرَّحِمُ adalah hubungan kekerabatan, yang asalnya adalah tempat tumbuhnya janin di dalam perut.” (Lisanul ‘Arab)
Jadi, silaturahim artinya adalah menyambung tali persauda-raan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab.
Penjelasan Ayat
* (#rßç6ôã$#ur ©!$# wur (#qä.Îô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© (
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di t menjelaskan: “Allah l memerintahkan
hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya. Yaitu masuk
dalam penghambaan diri kepada-Nya dan taat terhadap perintah dan larangan-Nya,
dengan kecintaan, ketundukan, dan ikhlas untuk-Nya pada semua jenis ibadah,
lahiriah maupun batiniah, serta melarang dari menyekutukan sesuatu dengan-Nya.
Baik syirik kecil maupun besar, baik dengan malaikat, nabi, wali, ataupun
makhluk lainnya yang tidak memiliki bagi diri mereka sendiri manfaat, mudarat,
kematian, kehidupan, maupun pembangkitan. Bahkan yang menjadi keharusan
(kewajiban) yang pasti adalah mengikhlaskan ibadah bagi Dzat yang memiliki
kesempurnaan dari segala sisi, yang milik-Nya lah segala pengaturan. Tidak ada
yang menandingi-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya.”
Setelah Allah memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dan menunaikan hak-Nya, Allah memerintahkan untuk menunaikan hak-hak hamba-Nya secara berurutan (sesuai skala prioritas), yang lebih dekat dan seterusnya. Maka Allah mengatakan:
( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ)
“Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapak.”
Artinya, berbuat baiklah kalian
kepada mereka dengan ucapan yang mulia, tutur kata yang lembut, dan perbuatan
yang baik, dengan menaati perintah mereka berdua dan menjauhi larangan mereka,
memberikan nafkah kepada mereka, memuliakan orang yang memiliki hubungan dengan
mereka berdua, dan menyambung tali silaturahim, yang mana tidak akan ada
kerabat bagimu kecuali dengan perantaraan mereka berdua.
Berbakti kepada kedua orangtua
memiliki dua lawan, yaitu berbuat jelek (durhaka) dan tidak berbuat baik. Kedua
hal ini terlarang.
الْقُرْبَى وَبِذِي
“(Dan kepada) karib kerabat.”
Yakni, berbuat baiklah juga kepada
mereka. Kerabat di sini meliputi semuanya, yang dekat ataupun jauh. Berbuat
baik kepada mereka dengan perkataan dan perbuatan, serta tidak memutuskan
silaturahim dengan mereka, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
وَالْيَتَامَى
“(Dan kepada) anak-anak yatim.”
Anak yatim yaitu orang yang ditinggal
mati ayah mereka dalam keadaan masih kecil. Mereka punya hak atas kaum
muslimin. Baik anak yatim tersebut termasuk kerabat atau bukan. Bentuk
perbuatan baik terhadap mereka yaitu dengan menanggung biaya hidup mereka,
berbuat baik dan melipur derita mereka, mendidik mereka dengan pendidikan
terbaik, dalam urusan agama maupun dunia.
وَالْمَسَاكِينِ
“(Dan kepada) orang-orang miskin.”
Yaitu orang-orang yang tertahan
dengan kebutuhan mereka sehingga tidak mendapatkan kecukupan untuk diri mereka
dan orang yang mereka tanggung. Bentuk perbuatan baik kepada mereka adalah
dengan menutupi kekurangan mereka, membantu mereka sehingga tercukupi
kebutuhannya. Juga dengan mengajak orang lain untuk melakukan hal tersebut dan
melakukan apa yang mampu untuk dilakukan.
الْقُرْبَى ذِي وَالْجَارِ
“(Dan kepada) tetangga yang dekat.”
Artinya, kerabat yang rumahnya dekat dengan
kita. Sehingga dia mempunyai dua hak atas kita, hak sebagai kerabat dan hak
sebagai tetangga. Perbuatan baik di sini dikembalikan kepada adat yang berlaku.
Demikian juga dengan:
الْجُنُبِ وَالْجَارِ
“Tetangga yang jauh.”
Yaitu tetangga yang tidak mempunyai
hubungan kekerabatan. Dalam hal ini, tetangga yang lebih dekat pintunya lebih
besar pula haknya. Sehingga dianjurkan bagi seseorang untuk selalu memerhatikan
tetangganya, dengan memberikan hadiah, shadaqah, dengan dakwah, kesopanan, baik
dalam ucapan maupun perbuatan. Juga tidak menyakitinya, baik dengan ucapan
maupun perbuatan.
بِالْجَنْبِ وَالصَّاحِبِ
“(Dan kepada) teman sejawat.”
Ada yang mengatakan bahwa maksudnya
adalah teman dalam perjalanan. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah istri.
Ada yang mengatakan maksudnya teman secara mutlak. Dan mungkin pendapat
(terakhir) ini lebih benar, karena mencakup teman di rumah, di perjalanan,
serta istri.
Sehingga, seorang teman memiliki
kewajiban terhadap temannya lebih daripada hak Islamnya, untuk membantunya
dalam urusan agama maupun dunia, menasihatinya, menepati janji terhadapnya,
ketika senang ataupun susah, ketika sedang bersemangat ataupun malas. Hendaknya
ia mencintai untuk temannya apa yang dia sukai untuk dirinya, dan membenci apa yang
ia benci untuk dirinya. Semakin lama pergaulan dengannya, semakin besar pula
haknya.
السَّبِيلِ وَابْنِ
“(Dan kepada) ibnu sabil.”
Yaitu orang asing di negeri lain,
yang membutuhkan bantuan materi ataupun tidak. Ia punya hak atas kaum muslimin,
karena dia sangat butuh atau karena dia berada di negeri asing. Dia memerlukan
bantuan agar sampai ke tempat tujuannya atau tercapai sebagian maksud dan
cita-citanya. Juga dengan memuliakan dan menemaninya agar tidak kesepian.
أَيْمَانُكُمْ مَلَكَتْ وَمَا
“(Dan kepada) hamba sahayamu.”
Yaitu apa yang kalian miliki, baik
dari kalangan Bani Adam atau dari hewan. Perbuatan baik di sini yaitu dengan
mencukupi kebutuhan mereka dan tidak membebani sesuatu yang memberatkan mereka.
Membantu mereka melaksanakan hal yang menjadi tanggung jawab mereka. Mendidik
mereka untuk kemaslahatan mereka.
Maka barangsiapa yang melaksanakan
perintah-perintah Allah ldan syariat-Nya,
berhak mendapatkan pahala yang besar dan pujian yang indah. Sedangkan orang
yang tidak melaksanakan perintah-perintah tersebut, dialah orang yang menjauh
dari Rabb-Nya dan tidak taat terhadap perintah-perintah-Nya, tidak rendah hati
kepada makhluk-Nya. Bahkan dia adalah orang yang sombong terhadap hamba Allah , teperdaya dengan dirinya dan bangga dengan
ucapannya.
Oleh karena itulah Allah berfirman:
3 ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä `tB tb%2 Zw$tFøèC
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong….”
Maksudnya, sesungguhnya Allah k tidak
mencintai orang yang teperdaya dengan dirinya, sombong terhadap hamba Allah .
فَخُورًا
“…dan membangga-banggakan diri.”
Yakni, memuji dirinya dan
menyanjungnya untuk membanggakan dan menyombongkan dirinya kepada hamba Allah . (Tafsir As-Sa’di, hal. 191-192, cet. Darus Salam)
Dari ayat dan penafsiran di atas, kita bisa berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya. Terlebih kepada kerabat-kerabat dekat yang juga muslim, mereka memiliki hak-hak yang banyak atas kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شَيْءٍ كُلِّ عَلَى الْإِحْسَانَ كَتَبَ اللهَ إِنَّ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan
perbuatan baik kepada segala sesuatu.” (HR. Muslim dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus )
Targhib (Motivasi)
Allah melengkapi perintah untuk menyambung tali silaturahim
dengan memberikan janji dan ancaman. Di antara janji-janji tersebut
adalah:
1. Surga adalah balasan bagi orang
yang menyambung tali silaturahim.
Allah mengatakan:
tûïÏ%©!$#ur
tbqè=ÅÁt
!$tB
ttBr&
ª!$#
ÿ¾ÏmÎ/
br&
@|¹qã
cöqt±øsur
öNåk®5u
tbqèù$ssur
uäþqß
É>$|¡Ïtø:$#
ÇËÊÈ
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang
buruk.” (Ar-Ra’d: 21)
Ini umum meliputi semua perkara yang
Allah perintahkan
untuk menyambungnya, baik berupa iman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai-Nya dan mencintai Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, taat beribadah kepada-Nya semata dan taat kepada
Rasul-Nya. Termasuk juga, menyambung kepada bapak dan ibu dengan berbuat baik
kepada mereka, dengan perkataan dan perbuatan, tidak durhaka kepada mereka.
Juga, menyambung karib kerabat, dengan berbuat baik kepada mereka dalam bentuk
perkataan dan perbuatan. Juga menyambung dengan para istri, teman, dan hamba
sahaya, dengan memberikan hak mereka secara sempurna, baik hak-hak duniawi
ataupun agama.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 481, cet. Darus Salam)
Kemudian dalam ayat 22-24 dari surat
Ar-Ra’d ini, Allah memberitahukan:
tûïÏ%©!$#ur
(#rçy9|¹
uä!$tóÏGö/$#
Ïmô_ur
öNÍkÍh5u
(#qãB$s%r&ur
no4qn=¢Á9$#
(#qà)xÿRr&ur
$£JÏB
öNßg»uZø%yu
#uÅ
ZpuÏRxtãur
crâäuôtur
ÏpoY|¡ptø:$$Î/
spy¥Íh¡¡9$#
y7Í´¯»s9'ré&
öNçlm;
Ót<ø)ãã
Í#¤$!$#
ÇËËÈ
àM»¨Zy_
5bôtã
$pktXqè=äzôt
`tBur
yxn=|¹
ô`ÏB
öNÍkɲ!$t/#uä
öNÎgÅ_ºurør&ur
öNÍkÉJ»Íhèur
( èps3Í´¯»n=yJø9$#ur
tbqè=äzôt
NÍkön=tã
`ÏiB
Èe@ä.
5>$t/
ÇËÌÈ
íN»n=y
/ä3øn=tæ
$yJÎ/
÷Län÷y9|¹
4 zN÷èÏYsù
Ót<ø)ãã
Í#¤$!$#
ÇËÍÈ
“Orang-orang itulah1 yang mendapat
tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya
bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istri dan
anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua
pintu; (sambil mengucapkan): ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum’. Maka alangkah
baiknya tempat kesudahan itu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga memberikan penjelasan yang sama sebagaimana dalam hadits dari Abu
Ayyub Khalid bin Zaid Al-Anshari :
“Seseorang berkata: ‘Ya Rasulullah,
beritahukan kepadaku amalan yang akan memasukkan aku ke surga dan menjauhkanku
dari neraka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Engkau beribadah
kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, menegakkan shalat,
menunaikan zakat, dan menyambung silaturahim’.” (HR. Al-Bukhari, 3/208-209, Muslim no. 13)
2. Shadaqah kepada kerabat berpahala
ganda.
Dari Salman bin ‘Amr , dari Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau berkata:
“Shadaqah kepada orang miskin itu satu
shadaqah. Dan shadaqah kepada kerabat itu dua shadaqah; shadaqah dan penyambung
silaturahim.” (HR. At-Tirmidzi no. 685, Abu Dawud
no. 2335, An-Nasa`I 5/92, Ibnu Majah no. 1844. At-Tirmidzi mengatakan hadits
ini hasan. Ibnu Hibban menshahihkannya)
3. Orang yang menyambung tali
silaturahim akan dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.
Dari Anas , bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan
dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya.”(HR. Al-Bukhari 10/348, Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693)
Tarhib (Ancaman)
Di samping janji-janji, syariat juga
melengkapi perintah untuk bersilaturahim dengan ancaman-ancaman keras bagi yang
memutuskannya. Di antara ancaman-ancaman tersebut adalah:
1. Laknat Allah dan tempat kembali yang buruk (neraka) bagi yang memutus
tali silaturahim.
Allah mengatakan
dalam surat Ar-Ra’d ayat 25:
tûïÏ%©!$#ur
tbqàÒà)Zt
yôgtã
«!$#
.`ÏB
Ï÷èt/
¾ÏmÉ)»sVÏB
cqãèsÜø)tur
!$tB
ttBr&
ª!$#
ÿ¾ÏmÎ/
br&
@|¹qã
tbrßÅ¡øÿãur
Îû
ÇÚöF{$#
y7Í´¯»s9'ré&
ãNßgs9
èpoY÷è¯=9$#
öNçlm;ur
âäþqß
Í#¤$!$#
ÇËÎÈ
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah
diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang
memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits dari Abu Muhammad Jubair
bin Muth’im , bahwa beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan.”
Sufyan Ats-Tsauri t mengatakan
dalam riwayatnya: “Maksudnya, orang yang memutuskan tali silaturahim.” (HR.
Al-Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556)
2. Dijadikan buta dan tuli.
@ygsù
óOçFø|¡tã
bÎ)
÷Läêø©9uqs?
br&
(#rßÅ¡øÿè?
Îû
ÇÚöF{$#
(#þqãèÏeÜs)è?ur
öNä3tB$ymör&
ÇËËÈ
y7Í´¯»s9'ré&
tûïÏ%©!$#
ãNßgoYyès9
ª!$#
ö/àS£J|¹r'sù
#yJôãr&ur
öNèdt»|Áö/r&
ÇËÌÈ
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka
bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang
dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan
mereka.” (Muhammad: 22-23)
Ayat ini merupakan ancaman bagi orang
yang memutuskan tali silaturahim.
3. Orang yang memutuskan tali
silaturahim segera mendapatkan azab di dunia dan akhirat.
Dari Abu Bakrah , dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Tidak ada dosa yang pantas untuk disegerakan
hukumannya oleh Allah bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan (hukuman) yang disimpan
untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan pemutusan silaturahim.” (HR. Ahmad, 5/36, Abu Dawud, Kitabul Adab (43) no.
4901, dan ini lafadz beliau, At-Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah no. 1513, dan
beliau mengatakan hadits ini shahih, Ibnu Majah dalam Kitab Az-Zuhd bab
Al-Baghi, no. 4211)
Menyambung Silaturahim Bukan Sekadar
Membalas
Banyak orang yang mengakrabi
saudaranya setelah saudaranya mengakrabinya. Mengunjungi saudaranya setelah
saudaranya mengunjunginya. Memberikan hadiah setelah ia diberi hadiah, dan
seterusnya. Dia hanya membalas kebaikan saudaranya. Sedangkan kepada saudara
yang tidak mengunjunginya –misalnya– tidak mau dia berkunjung. Ini belum
dikatakan menyambung tali silaturahim yang sebenarnya. Yang disebut menyambung
tali silaturahim sebenarnya adalah orang yang menyambung kembali terhadap orang
yang telah memutuskan hubungan kekerabatannya. Hal ini dijelaskan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin ‘Amr c, dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Bukanlah penyambung adalah orang yang hanya
membalas. Tetapi penyambung adalah orang yang apabila diputus rahimnya, dia
menyambungnya.” {HR. Al-Bukhari,
Kitabul Adab bab (15) Laisal Washil bil Mukafi, no. 5991}
Ibnu Hajar mengatakan: “Peniadaan sambungan tidak pasti
menunjukkan adanya pemutusan. Karena mereka ada tiga tingkatan: (1) orang yang
menyambung, (2) orang yang membalas, dan (3) orang yang memutuskan. Orang yang
menyambung adalah orang yang melakukan hal yang lebih dan tidak diungguli oleh
orang lain. Orang yang membalas adalah orang yang tidak menambahi pemberian
lebih dari apa yang dia dapatkan. Sedangkan orang yang memutuskan adalah orang
yang diberi dan tidak memberi. Sebagaimana terjadi pembalasan dari kedua pihak,
maka siapa yang mengawali berarti dialah yang menyambung. Jikalau ia dibalas,
maka orang yang membalas dinamakan mukafi` (pembalas). Wallahu a’lam.” (Fathul
Bari, 10/427, cet. Dar Rayyan)
Orang yang terus berbuat baik kepada kerabat mereka meskipun mereka berbuat jelek kepadanya, tidak akan rugi sedikit pun. Bahkan akan selalu ditolong oleh Allah k. justru kerabat yang tidak mau membalas kebaikan itulah yang mendapat dosa yang besar akibat perbuatan mereka. Seperti dalam hadits Ibnu Mas’ud : Ada seseorang berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat dan
aku sambung mereka, tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka
tetapi mereka berbuat jelek terhadapku. Aku bersabar terhadap mereka, tetapi
mereka selalu berbuat jahil kepadaku.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Jika engkau seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah
engkau melemparkan abu panas ke wajah mereka dan pertolongan Allah tetap
bersamamu menghadapi mereka selama engkau seperti itu.” (HR. Muslim, Kitabul Birr wash-Shilah, bab Silaturahim
wa tahrimu qathi’atiha, no. 6472)
Silaturahim kepada Kerabat Non Muslim
w
â/ä38yg÷Yt
ª!$#
Ç`tã
tûïÏ%©!$#
öNs9
öNä.qè=ÏG»s)ã
Îû
ÈûïÏd9$#
óOs9ur
/ä.qã_Ìøä
`ÏiB
öNä.Ì»tÏ
br&
óOèdry9s?
(#þqäÜÅ¡ø)è?ur
öNÍkös9Î)
4 ¨bÎ)
©!$#
=Ïtä
tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#
ÇÑÈ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
‘Allamatul Qashim Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di tmenjelaskan:
“Artinya, Allah k tidak melarang kalian dari kebaikan, silaturahim, dan
membalas kebaikan serta berlaku adil terhadap kerabat kalian dari kalangan kaum
musyrikin atau yang lain. Hal ini bila mereka tidak mengobarkan peperangan
dalam agama terhadap kalian, tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian.
Maka tidak mengapa kalian berhubungan baik dengan mereka dalam keadaan seperti
ini, tidak ada kekhawatiran dan kerusakan padanya.”
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah Agar Admin Blog Ini Bisa Mengetahui Masalah Anda