Copyright @ 2012 oleh Maz Annas. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Akhlak Islam Cerminan Aqidah Islam


“Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak yang agung” (Al qalam : 4). Adakah orang yang tidak menyukai perhiasan ? jawaban pertanyaan ini jelas, bahwa tidak ada seorangpun melainkan ia menyukai perhiasan dan senang untuk tampil berhias di hadapan siapa saja. Karena itu kita lihat banyak orang berlomba-lomba untuk memperbaiki penampilan dirinya. Ada yang lebih mementingkan perhiasan dhahir (luar) dengan penambahan aksesoris sepertipakaian yang bagus, make up yang mewah dan emas permata, sehingga mengundang decak kagum orang yang melihat. Adapula yang berupaya memperbaiki kualitas akhlak, memperbaiki dengan akhlak islami.
Yang disebut terakhir ini tentunya bukan decak kagum manusia yang dicari, namun karena kesadaran agamanya menghendaki demikian dengan disertai harapan mendapatkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala. Kalaupun penampilannya mengundang pujian orang, ia segera mengembalikannya kepada Allah karena kepunyaan-Nyalah segala pujian dan hanya Dialah yang berhak untuk dipuji.


ISLAM MENGUTAMAKAN AKHLAK
Mungkin banyak diantara kita kurang memperhatikan masalah akhlak. Di satu sisi kita mengutamakan tauhid yang memang merupakan perkara pokok/inti agama ini, berupaya menelaah dan mempelajarinya, namun disisi lain dalam masalah akhlak kurang diperhatikan. Sehingga tidak dapat disalahkan bila ada keluhan-keluhan yang terlontar dari kalangan awwam, seperti ucapan : “Wah udah ngerti agama kok kurang ajar sama orang tua.” Atau ucapan : “Dia sih agamanya bagus tapi sama tetangga tidak pedulian.”, dan lain-lain.
Seharusnya ucapan-ucapan seperti ini ataupun yang semisal dengan ini menjadi cambuk bagi kita untuk mengoreksi diri dan membenahi akhlak. Islam bukanlah agama yang mengabaikan akhlak, bahkan islam mementingkan akhlak. Yang perlu diingat bahwa tauhid sebagai sisi pokok/inti islam yang memang seharusnya kita utamakan, namun tidak berarti mengabaikan perkara penyempurnaannya. Dan akhlak mempunyai hubungan yang erat. Tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap Allah dan ini merupakan pokok inti akhlak seorang hamba. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik manusia. Semakin sempurna tauhid seseorang maka semakin baik akhlaknya, dan sebaliknya bila seorang muwahhid memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya.

RASUL DIUTUS UNTUK MENYEMPURNAKAN AKHLAK
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, rasul kita yang mulia mendapat pujian Allah. Karena ketinggian akhlak beliau sebagaimana firmanNya dalam surat Al Qalam ayat 4. bahkan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan bahwa kedatangannya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang ada pada diri manusia, “Hanyalah aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak.”(HR.Ahmad, lihat Ash Shahihah oleh Asy Syaikh al Bani no.45 dan beliau menshahihkannya).
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu seorang sahabat yang mulia menyatakan :“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling baik budi pekertinya.” (HR.Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain anas memuji beliau shalallahu ‘alahi wasallam : “Belum pernah saya menyentuh sutra yang tebal atau tipis lebih halus dari tangan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Saya juga belum pernah mencium bau yang lebih wangi dari bau rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Selama sepuluh tahun saya melayani rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, belum pernah saya dibentak atau ditegur perbuatan saya : mengapa engkau berbuat ini ? atau mengapa engkau tidak mengerjakan itu ?” (HR. Bukhari dan Muslim).
Akhlak merupakan tolak ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana telah disabdakan oleh rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.” (HR Tirmidzi, dari abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, diriwayatkan juga oleh Ahmad. Disahihkan Al Bani dalam Ash Shahihah No.284 dan 751). Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdillah bin amr bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhuma disebutkan : “Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang terbaik akhlaknya.”

KEUTAMAAN AKHLAK
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa suatu saat rashulullah pernah ditanya tentang kriteria orang yang paling banyak masuk syurga. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Taqwa kepada Allah dan Akhlak yang Baik.” (Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Lihat Riyadus Sholihin no.627, tahqiq Rabbah dan Daqqaq).
Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menasehati sahabatnya, beliau shalallahu ‘alahi wasallam menggandengkan antara nasehat untuk bertaqwa dengan nasehat untuk bergaul/berakhlak yang baik kepada manusia sebagaimana hadits dari abi dzar, ia berkata bahwa rashulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada dan balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.”(HR Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan, dan dishahihkan oleh syaikh Al Salim Al Hilali).
Dalam timbangan (mizan) amal pada hari kiamat tidak ada yang lebih berat dari pada aklak yang baik, sebagaimana sabda rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam :“ Sesuatu yang paling berat dalam mizan (timbangan seorang hamba) adalah akhlak yang baik.” (HR. Abu Daud dan Ahmad, dishahihkan Al Bani. Lihat ash Shahihah Juz 2 hal 535). Juga sabda beliau : “ Sesungguhnya sesuatu yang paling utama dalam mizan (timbangan) pada hari kiamat adalah akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, dishahihkan al Bani. Lihat Ash Shahihah juz 2 hal.535).
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata : Rashulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling saya kasihi dan yang paling dekat padaku majelisnya di hari kiamat ialah yang terbaik budi pekertinya.” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan. Diriwayatkan juga oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Lihat Ash shahihah Juz 2 hal 418-419).
Dari hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa akhlak yang paling baik memiliki keutamaan yang tinggi. Karena itu sudah sepantasnya setiap muslimah mengambilakhlak yang baik sebagai perhiasannya. Yang perlu diingat bahwa ukuran baik atau buruk suatu akhlak bukan ditimbang menurut selera individu, bukan pula hitam putih akhlak itu menurut ukuran adat yang dibuat manusia. Karena boleh jadi, yang dianggap baik oleh adat bernilai jelek menurut timbangan syari’at atau sebaliknya
Jelas bagi kita bahwa semuanya berpatokan pada syari’at, dalam semua masalah termasuk akhlak. Allah sebagai Pembuat syari’at ini, Maha Tahu dengan keluasan ilmu-Nya apa yang mendatangkan kemashlahatan/kebaikan bagi hamba-hamba-Nya. Wallahu Ta’ala a’lam.

Aqidah adalah bentuk jamak dari kata Aqaid, adalah beberapa perkara yang
wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi
keyakinan yang tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan. Aqidah adalah
sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara mudah oleh manusia berdasarkan
akal, wahyu (yang didengar) dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan dalam hati,
dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.

 Aqidah dalam Al-Qur’an dapat di jabarkan dalam surat (Al-Maidah, 5:15-16) yg
berbunyi    “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab
yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan kitab itu pula Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”

 “Dan agar orang-orang yg telah diberi ilmu meyakini bahwasannya Al-Qur’an
itulah yg hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya
dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yg beriman
kepada jalan yang lurus.”    (Al-Haj 22:54)

 Aqidah, syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Aqidah sebagai system kepercayaan yg bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai
system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak
sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yg hendak dicapai agama.

 Muslim yg baik adalah orang yg memiliki aqidah yg lurus dan kuat yg
mendorongnya untuk melaksanakan syariah yg hanya ditujukan pada Allah sehingga
tergambar akhlak yg terpuji pada dirinya.

 Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yg melakukan suatu perbuatan baik,
tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau keimanan, maka orang itu termasuk ke
dalam kategori kafir. Seseorang yg mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak
mau melaksanakan syariah, maka orang itu disebut fasik. Sedangkan orang yg
mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah yg tidak
lurus disebut munafik.

 Aqidah, syariah dan akhlak dalam Al-Qur’an disebut iman dan amal saleh. Iman
menunjukkan makna aqidah, sedangkan amal saleh menunjukkan pengertian syariah
dan akhlak.

 Seseorang yg melakukan perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi aqidah, maka
perbuatannya hanya dikategorikan sebagai perbuatan baik. Perbuatan baik adalah
perbuatan yg sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi belum tentu
dipandang benar menurut Allah. Sedangkan perbuatan baik yg didorong oleh
keimanan terhadap Allah sebagai wujud pelaksanaan syariah disebut amal saleh.
Kerena itu didalam Al-Qur’an kata amal saleh selalu diawali dengan kata iman.

 antara lain firman Allah dalam (An-Nur, 24:55) “Allah menjanjikan bagi
orang-orang yg beriman diantara kamu dan mengerjakan amal saleh menjadi
pemimpin di bumi sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang dari sebelum
mereka (kaum muslimin dahulu) sebagai pemimpin; dan mengokohkan bagi mereka
agama mereka yg Ia Ridhai bagi mereka; dan menggantikan mereka dari rasa takut
mereka (dengan rasa) tenang. Mereka menyembah (hanya) kepada-Ku, mereka tidak
menserikatkan Aku dengan sesuatupun. Dan barang siapa ingkar setelah itu, maka
mereka itu adalah orang-orang yg fasik”

AQIDAH ISLAMIYAH
November 10, 2010 — nurdiyon
Pengertian
Secara bahasa, aqidah berasal dari kata ‘aqoda ya’qidu/’uqdatan/wa’aqidatan, yang berarti ikatan (al-rabthu), janji (al-‘ahdu), keyakinan yang mantap (al-jazmu)
Sedangkan menurut istilah, aqidah adalah perkara-perkara yang dibenarkan oleh jiwa dan hati merasa tenang karenanya serta menjadi suatu keyakinan bagi pemiliknya yang tidak dicampuri keraguan sedikitpun.
Aqidah Islamiyah bersumber pada Al Quran dan As Sunnah/Al Hadits. Oleh sebab itu, segala bentuk amal ibadah wajib berdasarkan kepada Al Quran dan Hadits. Barang siapa melakukan amal ibadah yang tidak sesuai atau tidak terdapat di dalam Al Quran ataupun Al Hadits, maka amal ibadahnya akan tertolak, dan boleh jadi hanya akan menimbulkan murka Allah swt.
“Barang siapa mengerjakan suatu amalan tanpa dasar perintah Kami, maka ia tertolak” (HR. Muslim)

Dasar-Dasar Aqidah Islamiyah
“Islam itu didirikan di atas lima dasar; bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah, dan Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, hajji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan”. (HR. Bukhari – Muslim)
Setiap bangunan pastilah memilik dasar atau pondasi awal. Semakin tinggi, semakin megah, semakin besar suatu bangunan, maka tentunya ia membutuhkan pondasi yang semakin kuat. Itulah pentingnya mengokohkan Rukun Iman di dalam hati setiap umat muslim yang beriman, karena rukun iman adalah basic atau pondasi yang akan menentukan kekokohan bangunannya, yaitu bangunan Islam. Bangunan islam yang sudah tertanam dalam diri seseorang tentunya akan mudah diluluhlantahkan oleh berbagai ujian yang senantiasa menghadang dan mendatangi seseorang yang mengaku beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
1. Iman kepada allah swt
Firman Allah swt:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 177)
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa : 136)
2. Iman kepada malaikat
Firman Allah swt:
“Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah : 97-98)
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 177)
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”” (QS. Al Baqarah : 285)
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa : 136)
3. Iman kepada kitab-kitab Allah swt
Firman Allah swt:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 177)
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa : 136)
4. Iman kepada Rasul
Firman Allah swt:
“Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah : 98)
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa : 136)
5. Iman kepada hari akhir
Firman Allah swt:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 177)
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa : 136)
6. Iman kepada Qadha dan Qadar
“yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS. Al Furqaan : 2)

Peranan Aqidah Islamiyah
1. Merdeka atau lepas dari segala bentuk penghambaan diri kepada segala bentuk thagut (sesembahan selain Allah swt).
Seseorang yang memiliki aqidah yang mantap tidak akan menyisakan sedikitpun ruang di dalam hatinya untuk yang lain, kecuali hanya Allah swt semata. Dasar pemikiran dan pijakan kakinya senantiasa disesuaikan dengan apa yang menjadi ajaran Al Quran dan hadits. Langkah, arah dan tujuan setiap nafas hidupnya hanyalah kepada Allah swt, untuk mendapatkan keridhoan-Nya semata berdasarkan contoh yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Hanya karena Allah swt-lah awal dan akhirnya.
Firman Allah swt:
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al Mumtahanah : 4)
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafiruun : 1-5)
2. Memperoleh kemuliaan atau harga diri (‘izzah)
Karena sesungguhkan kemulian yang hakiki itu hanyalah kemuliaan di hadapan Allah swt semata. Tidak tidak ada satu makhluk pun yang berhak dan mampu memberikan kemuliaan kecuali Allah Yang Maha Meninggikan. Demikian pula sebaliknya, tidak ada satu makhluk pun yang berhak dan mampu untuk memberikan kehinaan, melainkan hanya atas kehendak Allah swt semata. Allah-lah yang akan meangkat dan menjatuhkan derajat seseorang baik di dunia maupun di akhirat kelak.
”Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)”.QS. Al Imraan: 26-27
“Mereka berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya.” Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Al Munaafiquun : 8)
3. Memberikan ketenangan (at-thuma’ninah)
Ketenteraman atau ketenangan merupakan satu perasaan hati, perasaan jiwa yang senantiasa setiap orang pasti menginginkannya. Untuk itu, kebanyakan manusia pun berlomba-lomba mengumpulkan uang dan menumpuk harta, bersaing memperoleh jabatan dan berharap dengan semua itu ia akan memperoleh kenangan atau ketenteraman hidup.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ketenangan atau ketenteraman itu hanyalah milih Allah dan hanya dari Allah-lah ketenangan itu dapat kita mohon. Semakin seseoran kaya akan harta dunia, maka semakin beratlah beban hidup di dunia dan di akhiratnya. Di dunia perasaannya senantiasa dikejar-kejar rasa takut akan kehilangan harta bendanya, dan di akhirat perhitungan (hisab) Allah pun tidak akan pernah dapat diperdaya. Semakin banyak harta benda kita, maka semakin beratlah hisab yang akan kita jalani.
Semakin tinggi jabatan yang kita miliki, maka semakin beratlah tanggung jawab dan pertanggung jawaban yang kita pikul di dunia dan di akhirat kelak. Rasa was-was akan lengsernya jabatan atau bahkan ketidak puasan untuk terus mendapatkan jabatan yang lebih tinggi pun senantiasa mengikuti.
Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Membolak-balikkan hati.
Firman Allah swt:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’du : 28)
4. Memberikan rasa aman (al-ammu)
Seberapapun jumlah staf keamanan dan alat keamanan dengan teknologi tercanggih kita miliki, rasa aman itu tidaklah akan menjadi miliki kita seandainya Allah swt memang tidak memberikan rasa aman itu kepada kita. Justru dengan banyaknya staf keamanan dan alat keamanan dengan teknologi yang luar biasa canggih itulah yang membuktikan bahwa rasa aman semakin tidak kita miliki.
Seseorang yang memiliki aqidah yang kokoh akan senantiasa merasa aman bagaimanapun keadaannya di dunia. Karena ia yakin, bahwa tidak akan ada kemudharatan yang akan menimpanya kecuali atas kehendak Allah swt. Sebaliknya, tidak akan ada pula kemasalahatanatau keberkahan yang akan sampai kepadanya kecuali dengan kehendak Allah swt pula. Dan keberkahan itu hanyalah milik orang-orang beriman yang senantiasa ridha kepada Allah swt.
Firman Allah swt:
“Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka.” (QS. Al An’aam : 28)
5. Menimbulkan sifat optimis (at-tafaul)
Sifat optimis adalah salah satu tanda bahwa dalam diri seorang muslim itu telah tertanam keimanan yang mantab kepada Allah swt. Ia yakin akan Qadha dan Qadar yang Allah tetapkan atas setiap makhluk-Nya. Dan ia yakin bahwa tidak ada yang akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendirilah yang merubahnya. Dan Allah tidak akan membebani umatnya melebihi batas kemampuannya. Dengan kata lain, seorang muslim yang memiliki aqidah yang kokoh senantiasa yakin bahwa Allah swt senantiasa memberikan yang terbaik kepada hamba-Nya yang beriman kepada-Nya.
Firman Allah swt:
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf : 87)
6. Memperoleh barakah (al-barakah)
Seandainya seluruh makhluk di langit dan di bumi bersatu untuk menimpakan keburukan (mudharat) maka niscaya tidak akan ada yang mampu memberikan keburukan (mudaharat) itu melainkan atas kehendak Allah swt. Dan seandainya seluruh makhluk di langit dan di bumi bersatu untuk menimpakan kebaikan (barakah) maka niscaya tidak akan ada yang mampu memberikan kebaikan (barakah) itu melainkan atas izin Allah swt. Itulah yang menjadi prinsip seseorang yang telah memiliki aqidah Islamiyah yang mantab.
Firman Allah swt:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raaf : 96)
7. Menimbulkan sikap berani (asy-syaja’ah)
Bagi pemilik aqidah Islamiyah yang kokoh, maka tidak ada yang patut untuk ditakuti kecuali Allah swt semata. Tidak ada yang lebih patut untuk di ambil dan diterapkan kecuali perintah Allah swt. Dan tidak ada yang patut untuk dijauhi kecuali larangan Allah swt. Dan tidak ada pula yang patut ditakuti kecuali membangkang dari perintah dan atau larangan Allah swt.
Firman Allah swt:
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah : 40)
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.” (QS. Fushshilat : 3)
8. Mendapatkan kepemimpinan (al-istikhlaaf)
Jiwa kepemimpinan senantiasa bersemayam dalam jiwa seorang muslim. Dengan kekokohan aqidah itulah jiwa kepemimpinan itu semakin mantab karena diarahkan berdasarkan petunjuk Allah swt dan ditujukan hanya untuk mendapatkan keridhoan dari Allah swt. Kekokohan aqidah yang melahirkan keyakianan bahwa segala amal perbuatan setiap manusia akan dimintai pertanggung jawabannya itulah yang kemudian menghujamkan sifat kepemimpinan sejati di dalam kehidupan umat muslim sejati.
Firman Allah swt:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur : 55)
9. Senantiasa bertawakal kepada Allah swt
Tawakal atau berserah diri kepada Allah sudah pasti menjadi naungan setiap muslim. Yakin kepada Allah swt yang akan memberikan yang terbaik dalam setiap langkah hidupanya. Nikmat yang Allah swt berikan senantiasa disyukuri. Dan sebaliknya, musibah yang menimpa menjadi penghisab dosa-dosa. Senantiasa berbaik sangka kepada Allah swt. Senantiasa hanya berharap kepada Allah swt, bukan kepada yang lain.
Firman Allah swt:
“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS Ali Imraan : 173)
Akhlak : Akhlakul Karimah
November 10, 2010 — nurdiyon
Akal dan nurani seorang setiap manusia dapat dilihat melalui kelakuan yang biasa ia tampakkan dalam keseharian. Dengan kata lain, akhlak merupakan satuan ukuran yang digunakan untuk mengukur ketinggian akal dan nurani seseorang.
Aisyah ra pernah menuturkan:
“Rasulullah bukanlah seorang yang keji dan tidak suka berkata keji, beliau bukan seorang yang suka berteriak-teriak di pasar dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan sebaliknya, beliau suka memaafkan dan merelakan”. (HR. Ahmad)
Al-Husein cucu Rasulullah saw menuturkan keluhuran budi pekerti beliau. Ia berkata: “Aku bertanya kepada ayahku tentang adab dan etika Rasulullah saw terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau, ayahku menuturkan: “Beliau saw senantiasa tersenyum, luhur budi pekerti lagi rendah hati, beliau bukanlah seorang yang kasar, tidak suka berteriak-teriak, bukan tukang cela, tidak suka mencela makanan yang tidak disukainya”.
Seorang lelaki menemui Rasulullah saw dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?”. Rasulullah saw menjawab, “Akhlak yang baik”. Kemudian ia mendatangi Nabi dari sebelah kanannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?”. Nabi saw menjawab, “Akhlak yang baik”. Kemudian ia menghampiri Nabi saw dari sebelah kiri dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?”. Dia bersabda, “Akhlak yang baik”. Kemudian ia mendatanginya dari sebelah kirinya dan bertanya, “Apakah agama itu?”. Rasulullah saw menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? Agama itu akhlak yang baik”. (al-Targhib wa al-Tarhib 3:405)
Nabi saw bersadba, “Aku menjamin sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi orang-orang yang berakhlak baik”. (HR. Abu Dawud)
Dengan demikian, ibadah dan akhlak merupakan pasangan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Ibadah dan akhlak laksana pohon dengan buahnya. Kualitas akhlak merupakan cermin dari kualitas ibadah seseorang. Setiap manusia pastilah memiliki akhlak. Dan setiap akhlakqul karimah merupakan buah dari ketaataannya kepada Allah swt.
Kata akhlak secara etimologi berasal dari kata al-akhlaaqu yang merupakan bentuk jamak dari kata al-khuluqu yang berarti tabiat, kelakuan, perangai, adat kebiasaan atau khalqun yang berarti kejadian, buatan, ciptaan. Jadi secara etimologi akhlak itu berarti perangai, tabiat atau sistem perilaku yang dibuat.
Pengertian Akhlak
Secara terminologi, akhlak adalah pola perilaku yang berdasarkan kepada dan memanifestasikan nilai-nilai Iman, Islam dan Ihsan.
Menurut Imam Ghazali, akhlak yaitu suatu keadaan yang tertanam di dalam jiwa yang menampilkan perbuatan dengan senang tanpa memerlukan penelitian dan pemikiran.
Sedangkan karimah berarti mulia, terpuji, baik. Apabila perbuatan yang keluar atau yang dilakukan itu baik dan terpuji menurut syariat dan akal maka perbuatan itu dinamakan akhlak yang mulia atau akhlakul karimah.
Peranan Akhlakul Karimah Dalam Kehidupan
Aqidah yang kuat merupakan akar bagi tegak dan kokohnya bangunan Islam. Kemudian syariah dan ibadah merupakan cabang-cabang yang akan membuatnya semakin rimbun, tampak subur, teduh dan kian menjulang. Sementara akhlak adalah buah yang akan dihasilkan oleh pohon yang berakarkan aqidah serta bercabang syariah dan berdaun ibadah. Pohon yang baik, tentunya akan menghasilkan buah yang baik. Maka aqidah, syariah serta ibadah yang mantab tentunya akan menghasilkan akhlak yang mantab pula, yaitu akhlakul karimah.
Akhlak merupakan salah satu faktor kehidupan yang sangat mendasar dan vital. Hal ini dibuktikan dengan diutusnya Rasulullah saw ke muka bumi ini yang tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak umat manusia, sebagimana tertuang dalam salah satu hadits Rasulullah saw yang artinya:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.(HR. Bukhari, Baihaqi, dan Hakim)
Selain itu, Rasulullah saw juga bersabda:
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Berdasarkan hadits di atas, dapat dilihat bahwa sesungguhnya akhlak yang mulia bukan hanya diperuntukkan bagi umat muslim saja, namun bagi seluruh manusia.
“dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. QS. Al Anbiyaa: 107
Ayat ini dikaitkan dengan hadits yang berbunyi “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Bukhari, Baihaqi, dan Hakim) menyiratkan satu isyarat bahwa Rasulullah saw diutus untuk akhlak manusia yang merupakan kunci untuk mendapatkan rahmat Allah swt. Akhlak mulia menjadi salah satu perintah vital di dalam Al Quran yang dilaksanakan dengan meneladani Rasulullah saw.
‘Aisyah ra. ditanya mengenai akhlaq Rasulullah saw, maka beliau menjawab “Akhlaq Rasulullah adalah Al Quran”. (HR. Muslim)
Dunia ini adalah alam sosialis yang mengharuskan setiap manusia atau bahkan hewan dan tumbuhan untuk dapat saling berinteraksi dengan baik. Dan itulah urgensi dari akhlakul karimah, sebagai sarana yang dapat melahirkan kehidupan sosial yang tenteram tanpa gontok-gontokan.
Pada hakikatnya, hidup adalah untuk beribadah kepada Allah swt semata sebagaimana firman Allah swt yang artinya:
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” QS. Adz Dzariyaat:56
Dan tentunya, ketenteraman dalam beribadah akan semakin mudah diraih manakala ketenteraman kehidupan pun ada. Dan ketenteraman hidup tentunya akan sangat membutuhkan timbal balik akhlakul karimah antar individu.
Nabi saw bersabda, “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”. Mereka menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak mempunyai uang dan harta”. Beliau lalu menjelaskan, “orang yang bangkrut di antara umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa shalat, puasa dan zakatnya. Namun ia pernah mencela orang, mencaci orang, memakan harta orang, memukul dan menumpakan darah orang. Maka iapun harus memberikan pahala baiknya kepada orang-orang itu. Jika amal baiknya sudah habis sebelum dibayar semua, diambillah dosa mereka untuk diberikan kepadanya. Maka iapun dilemparkan ke neraka.”(HR. Muslim dan Tirmidzi)
Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman”. Mereka bertanya, “Siapa ya Rasul?”. Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya merasa tidak aman dari keburukannya.” (HR. Muslim dan Imam Ahmad)
Beberapa orang datang kepada Rasulullah saw. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, fulanah terkenal rajin mengerjakan shalat, berpuasa dan berzakat. Hanya saja, ia sering menyakiti tetangganya”. Rasul saw menjawab, “Dia di neraka”. Lalu disebutkan ada seorang wanita yang shalat, puasa dan zakatnya biasa saja tetapi ia tidak menyakiti tetangganya. Maka Rasul saw menjawab, “Dia di surga”.
Bagaimana mungkin seorang yang rajin beribadah dapat masuk neraka, sementara yang biasa-biasa saja masuk surga hanya karena yang rajin beribadah suka menyakiti tetangganya sedangkan yang biasa-biasa saja tidak pernah menyakiti tetangganya? Mudah saja. Loginya, seorang yang biasa menyakiti tetangganya tentunya ia mempunyai hutang yang harus dibayar di akhirat. Bagaimana jika hutang atau dosa kepada tetangganya itu ternyata jauh lebih besar ketimbang amal ibadahnya? Tentu saja jawabannya adalah “Neraka”. Yang harus kita ingat adalah, kita tidak pernah tahu bahwa keburukan yang kita lakukan kepada sesama dan kita anggap sepele ternyata besar di mata Allah swt karena meninggalkan luka yng teramat mendalam di hati hamba-Nya. Sebaliknya, kita juga tidak pernah tahu manakala amala ibadah yang kita sangka sangat besar, ternyata sangat sepele bahkan tidak bernilai di mata Allah swt karena berunsur riya’ dan sebagainya. Wallahua’lam

Syarat-Syarat (Kriteria) Akhlak
Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai akhlak jika ia memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
Dilakukan berulang-ulang (continue). Jika dilakukan sekali saja atau jarang-jarang maka tidak dapat disebut sebagai akhlak. Sebagai contoh: jika seseorang tiba-tiba memberi hadiah kepada orang lain karena alasan tertentu maka orang tersebut tidak dapat dikatakan berakhlak mulia.
Timbul dengan sendirinya, tanpa pikir-pikir atau ditimbang berulang-ulang karena perbuatan itu telah menjadi kebiasan baginya. Jika suatu pernuatan dilakukan setelah dipikir-pikir dan ditimbang-timbang, apalagi karena terpaksa maka perbuatan itu bukanlah pencerminan akhlak. (Ensiklopedi Islam, Jilid I, 1993:102)

Sifat Akhlak Islami
Bagaimanakah yang dimaksud dengan akhlak Islami? Akhlak Islami bersumber dari Al Quran dan Al Hadits, sifatnya tetap (tidak berubah-ubah) dan ia berlaku untuk selamanya-lamanya. Sedangkan etika dan moral hanya bersumber dari adat istiadat dan pikiran manusia, ia hanya berlaku pada waktu tertentu dan di tempat tertentu saja, ia selalu berubah-ubah (berubah-ubah seiring bergantinya masa dan kepemimpinan). Perkataan etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu Ethosyang berarti kebiasaan. Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Baik dan buruk dalam pandangan akhlak adalah bergantung pada Al Quran dan Hadits yang selamanya tidak akan pernah berubah. Sedangkan dalam pandangan etika dan moral, baik dan buruk adalah bergantung kepada adat istiadat dan pemikiran manusia yang masih berlaku di suatu waktu dan tempat.

KESIMPULAN
Kemuliaan akhlak adalah maklumat utama bagi ajaran Islam sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah saw tentang tujuan pengutusan beliau ke muka bumi:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.(HR. Bukhari, Baihaqi, dan Hakim)
Berdasarkan pengertiannya, maka akhlak bukanlah sesuatu yang ada dan melekat pada diri seseorang dengan sendirinya, melainkan ditanam dan dilekatkan melalui suatu usaha atau proses (pembiasaan).
Fungsi akhlakul karimah dalam kehidupan adalah sebagai buah dari satu-satunya latar belakang diciptakannya manusia, yaitu untuk beribadah (menyembah) kepada Allah swt. Karena akhlakul karimah merupakan cermin dari berbagai aktivitas ibadah kepada Allah swt. Tanpa buah (akhlakul karimah) ini maka ibadah hanyalah sebagai upacara dan gerak-gerik yang tidak memiliki nilai dan manfaat apa-apa.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 komentar:

Ade Malsasa Akbar mengatakan...

Saudaraku, apakah tidak sebaiknya kita menghindari memajng gmbar makhluk bernyawa? Saya cuma menyarankan saja. Semoga Allah memberi petunjuk.

HiyaHiya mengatakan...

terima Kasih atas pencerahannya sekarang sudah saya ganti

Posting Komentar

Berkomentarlah Agar Admin Blog Ini Bisa Mengetahui Masalah Anda

Alexa

Visitor

free counters